BOGOR – Petani Tiongkok yang sudah bercocok tanam di Bogor,
Jawa Barat, ternyata sudah mendulang milyaran rupiah dari hasil panennya.
Petugas Imigrasi Bogor, yang masih terus menjalani
pemeriksaan saksi pada kasus dugaan penyalahgunaan izin tinggal empat WN
Tiongkok, mengungkapkan.
Selama ini hasil pertanian cabai Tiongkok sudah beberapa
kali panen dan dijual ke masyarakat luas.
“Ada lahan 20 hektar, tapi yang baru digarap empat hektar.
Satu hektar menghasilkan lima ton atau 5.000 kilogram. Dijual Rp 35 ribu sampai
Rp 40 ribu sesuai harga pasar. Kalau sudah di pasaran tembus Rp65 ribu per
kilo,” ujar Usman (37), usai memberikan keterangan kepada Imigrasi Bogor, Senin
(14/11).
Dengan asumsi itu, hasil yang didapat dari kebun cabai
seluas empat hektar yang tergarap ini mencapai Rp 800 juta sekali panen.
Jika seluruh lahan 20 hektar tergarap, maka pendapatan yang
dihasilkan mencapai Rp 4 miliar.
Menurut Usman, awalnya, hanya ada dua WN Tiongkok yang
datang ke kampungnya. Yakni Yu Wai Man(37) dan Xue Qingjiang (51).
Sebelum keduanya bercocok tanam, lahan tersebut adalah lahan
menganggur bekas peternakan sapi yang dikelola perusahaan Korea.
Praktik dan izinnya tidak begitu jelas bagi warga, hingga
berangsur bangkrut.
“Lahan di sekitarnya dijadikan kebun, bekas kandang sapi
jadi gudang dan kediaman,” bebernya.
Usman menambahkan, teknologi yang digunakanpara WN Tiongkok
itu sebelumnya tak pernah diketahui petani lokal.
Dia menjelaskan, ada sebuah selang air yang ditanam dalam
tanah, dan tiang pemancang dilumuri aspal untuk melindungi tanaman dari sengat
matahari.
“Sekali putar keran, seribu pohon tereraliri tidak perlu
orang buat menyiramnya. Kita warga banyak belajar,” jelasnya.
Di sisi lain, keberadaan para ahli pertanian Negeri Tirai
Bambu, ini seakan menampar Kabupaten Bogor yang sarat akan pakar dari kampus
IPB.
Akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Sofyan
Sjaf, mengatakan, ada empat aspek yang perlu diamati dalam kasus ini. Pertama,
aspek hukum.
“Keberadaan para petani Tiongkok itu perlu diperiksa
mendalam status kependudukannya. Negara harus tegas untuk meluruskan status
para WN Tiongkok tersebut,” kata dia.
Kemudian aspek agraria. Status lahan yang diolah seluas 20
hektar, apakah bentuknya pemanfaatan atau kepemilikan.
“Jika sampai kepemilikan oleh WN Asing, ini menjadi bahaya
besar,” ujarnya.
Aspek lainnya adalah sosiologis. Selain tambang, Tiongkok
melihat potensi pertanian di Indonesia.
Pasar komoditi pertanian yang potensial pun mulai digarap.
Jika pemerintah tidak menyikapinya dengan cepat, maka ini sangat berbahaya.
“Kita akan menjadi buruh di tanah air sendiri,” cetusnya.
Terakhir, aspek teknis. Sebenarnya, kata Sofjan, Indonesia
tidak kalah dalam hal kemajuan pengetahuan dan teknologi pertanian.
Hanya saja hal itu belum dioptimalisasi oleh pemerintah.
Kebijakan impor untuk memenuhi kebutuhan pasar lebih berarti bagi pemerintah
ketimbang mengembangkan komiditi pertanian di dalam negeri.
“Kesalahan fatal saat ini, pembangunan pertanian lebih
berorientasi produksi ketimbang memperkuat petani dan kelembagaannya,”
tukasnya. (Fajar/Jpg)
Sumber Asli : http://fajar.co.id/2016/11/15/petani-tiongkok-yang-ditangap-imigrasi-ini-dulang-miliaran-rupiah-dari-tanah-bogor/
Solusi Anda : Bioteknologi Pupuk Hayati BIOBOOST, Program Pertanian dengan Biaya lebih Murah dan Hasil Berlimpah.
Sumber Asli : http://fajar.co.id/2016/11/15/petani-tiongkok-yang-ditangap-imigrasi-ini-dulang-miliaran-rupiah-dari-tanah-bogor/
Solusi Anda : Bioteknologi Pupuk Hayati BIOBOOST, Program Pertanian dengan Biaya lebih Murah dan Hasil Berlimpah.
No comments:
Post a Comment